Pernyataan Abdullah Bin Baz bahwa memperingati malam nishfu sya’ban adalah bid’ah.

Allah Ta’ala berfrman: “Pada hari ini telah Aku
sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan
nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu”
Qs. Al Maidah: 3.
“Apakah mereka mempunyai sembahan–sembahan
selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang
tidak diizinkan Allah” QS. Asy Syura: 21.
Di dalam Shahih Bukhari dan Muslim, ‘Aisyah
meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa
yang mengada adakan dalam urusan agama kami maka hal itu
akan ditolak (tidak diterima)”.
Dalam Shahih Muslim dari Jabir radiyallahu anhum
bahwa Nabi Saw bersabda :
“Sesungguhnya sebaik–baik perkataan adalah Al Quran,
sebaik–baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw,
sejelek–jelek perkara adalah hal–hal yang diada–adakan di
dalam agama (bid’ah) dan setiap bid’ah itu adalah sesat”.
Banyak lagi ayat dan hadits lain yang senada dengan
ayat dan hadits diatas yang secara tegas menunjukkan
bahwa Allah telah menyempurnakan agama dan nikmat-Nya
untuk umat ini dan Rasulullah Saw sebelum wafatnya telah
menyampaikan secara lengkap dan jelas kepada umat semua
apa yang disyari’atkan Allah, baik berupa perkataan maupun
amal perbuatan.
Rasulullah Saw juga telah menjelaskan bahwa apa saja
yang diada–adakan oleh orang–orang yang datang sesudahnya
dan mereka nisbatkan kepada Islam baik berupa perkataan
maupun amal perbuatan, maka semua itu adalah bid’ah yang
ditolak dan tidak diterima, sekalipun diada–adakan oleh
pelakunya atas niat dan tujuan yang baik.
Hal itu telah diketahui oleh para sahabat dan para
ulama yang datang setelah mereka. Oleh karena itu, mereka
mengingkari segala bentuk bid’ah dan mengingatkan manusia untuk tidak terjerumus kedalamnya, sebagaimana
yang tertera dalam karya–karya Ibnu Wadhdhah, Thurthusyi,
Abu Syamah dan lainnya, tentang pengagungan Sunnah dan
pengingkaran terhadap bid’ah.
Di antara bid’ah yang diada–adakan oleh sebagian
orang adalah memperingati malam pertengahan Sya’ban serta
mengkhususkan hari tersebut untuk berpuasa. Padahal, tidak
ada satupun dalil yang dapat dijadikan sebagai landasannya.
Memang ada beberapa hadits lemah yang menjelaskan
fadhilahnya namun tidak bisa dijadikan landasan. Sedangkan
hadits–hadits yang menjelaskan keutamaan shalat di hari
itu, menurut kebanyakan ahli hadits semuanya adalah hadits
palsu. Berikut ini akan kita paparkan sebagian dari komentar
mereka. Terdapat juga beberapa atsar dari sebagian salaf dari
kalangan penduduk Syam dan selain mereka.
Telah menjadi kesepakatan jumhur ulama bahwa
memperingati malam tersebut adalah bid’ah. Hadits–hadits
yang menjelaskan tentang keutamaannya adalah dhaif (lemah)
bahkan sebagiannya adalah palsu, seperti yang diungkapkan
oleh Ibnu Rajab dalam bukunya “Lathaiful Ma’arif” dan
lainnya.
Hadits dha’if baru boleh diamalkan dalam hal ibadah
yang sudah ada dasarnya dari hadits–hadits yang shahih,
sedangkan memperingati Nishfu Sya’ban tidak ada satupun
dasarnya dari hadits yang shahih sehingga bisa dijadikan
alasan untuk mengamalkan hadits dha’if tersebut. Kaidah ini
disebutkan oleh Syaikhul Islam Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah. Wahai para pembaca, berikut ini saya akan nukil kepada
anda perkataan sebagian ulama tentang masalah ini, sehingga
benar–benar dipahami.
Para ulama telah sepakat bahwa kita wajib
mengembalikan kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah Saw.
Apa yang tertera dalam keduanya atau salah satunya itulah
syari’at yang wajib diikuti dan apa saja yang bertentangan
dengan keduanya maka wajib ditolak. Apapun bentuk ibadah
yang tidak tertera dalam keduanya adalah bid’ah yang tidak
boleh diamalkan apalagi menganjurkan orang lain untuk
melakukannya, Allah berfrman :
“Hai orang–orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah rasul-Nya dan Ulil Amri (pemimpin) diantara kamu”
QS. Asy Syura: 10.
“Katakanlah: “Jika kamu benar–benar mencintai
Allah, ikutilah aku niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa–dosamu” Qs. Ali Imran: 31.
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya)
tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang
kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya”
QS. An Nisa: 59.
Banyak lagi ayat–ayat lain yang senada dengan itu. Ayat–
ayat tersebut dengan tegas menunjukkan akan kewajiban
untuk mengembalikan permasalahan–permasalahan yang
diperselisihkan kepada Al Quran dan Sunnah serta ridha dengan hukum yang ada pada keduanya. Dan hal itu
merupakan konsekwensi iman serta kemaslahatan bagi para
hamba di dunia dan akhirat kelak.
Al Hafz Ibnu Rajab dalam bukunya “Lathaiful Ma’arif”
dalam masalah ini menjelaskan sebagai berikut :
“Para tabi’in dari kalangan penduduk Syam seperti
Khalid bin Ma’dan, Makhul, Luqman bin ‘Amir dan lainnya,
mereka memuliakan malam Nishfu Sya’ban dan melakukan
ibadah sebanyak mungkin padanya. Dari merekalah orang–
orang mengambil keutamaan dan kebesaran malam tersebut.
Dan menurut satu pendapat, mereka menerima beberapa
Atsar Israiliyyat.
Tatkala hal ini masyhur bersumber dari mereka
di mana–mana, para ulama berselisih pendapat dalam
menanggapinya. Ada yang menerima dan menyetujui mereka
dalam membesarkan malam tersebut seperti sebagian ahli
ibadah dari kalangan penduduk Bashrah dan selain mereka.
Sedangkan mayoritas ulama Hijaz mengingkarinya seperti
“Atha dan Ibnu Abi Mulaikah dan Fuqaha (ulama fqih)
Madinah seperti dinukil oleh Abdurrahman bin Zaid bin
Aslam. Ini adalah pendapat para pengikut Imam Malik dan
selain mereka, semua mereka mengatakan bid’ah”.
Para ulama dari Syam sendiri, berselisih pendapat
tentang teknis menghidupkan malam tersebut.
Pendapat pertama:
Disunnahkan menghidupkan malam tersebut secara
berjama’ah dalam masjid. Khalid bin Ma’dan, luqman bin ‘Amir dan lainnya, memakai pakaian yang terbagus pada
malam tersebut, memakai harum–haruman dan bercelak, lalu
mereka beribadah di masjid. Hal ini disetujui pula oleh Ishak
bin Rahawaih, beliau berkata tentang menghidupkannya di
masjid secara berjama’ah. Hal ini tidaklah termasuk bid’ah”,
dinukil darinya oleh Al Karmani dalam “Al Masaail”.
Pendapat kedua:
Makruh hukumnya berkumpul di masjid pada malam
tersebut, baik untuk shalat, bercerita dan berdoa. Tetapi tidak
makruh bagi seseorang yang melakukan shalat (beribadah)
pada malam itu dengan sendirian. Ini adalah pendapat Awza’i,
seorang ulama dan ahli fqih dari Syam.
Pendapat ini Insya Allah lebih dekat kepada kebenaran.
Sedangkan Imam Ahmad, tidak diketahui komentar beliau
secara tegas tentang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban.
Namun dapat ditakhrij dari beliau dua riwayat berdasarkan
dua riwayat pendapat beliau dalam masalah menghidupkan
malam dua hari raya untuk ibadah. Dalam satu riwayat beliau
mengatakan, tidak mustahab (dianjurkan) menghidupkan
malam tersebut secara berjama’ah karena hal itu tidak ada
sama sekali dinukil dan Nabi Saw juga para sahabat.
Dalam riwayat lain, beliau mengatakan hal itu mustahab
berdasarkan apa yang dilakukan oleh Abdurrahman bin Yazid
bin Aswad dari kalangan tabi’in. begitu pula halnya dengan
menghidupkan malam Nishfu Sya’ban untuk beribadah, tidak
ada dinukil dari Nabi Saw dan juga para sahabatnya, hanya
saja sekelompok tabi’in dari kalangan ulama Syam pernah melakukannya.
Demikianlah, secara ringkas perkataan Al Hafz Ibnu
Rajab dalam masalah tersebut. Secara tegas beliau mengatakan
bahwa tidak ada sama sekali dinukil dari Nabi Saw dan para
sahabatnya tentang beribadah secara khusus pada malam Nishfu
Sya’ban. Sedangkan pendapat Awza’i tentang dianjurkannya
beribadah pada malam tersebut secara perorangan dan diikuti
oleh Al Hafz Ibnu Rajab adalah lemah, karena segala sesuatu
yang tidak ada dalilnya dalam syari’at maka hal itu tidak
boleh dilakukan oleh seorang muslim baik secara berjama’ah
atau sendirian baik secara sembunyi ataupun terang–terangan,
berdasarkan sabda Nabi Saw:
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak
berdasarkan perintah kami, maka amalan itu akan ditolak”.
Dan dalil–dalil umum lainnya yang menunjukkan pengingkaran
terhadap perbuatan bid’ah dan menghindarinya.
Imam Abu Bakar Ath Tharthusyi dalam bukunya
“Al Hawadits Wal Bida”, mengatakan “Ibnu Wadhdhah
meriwayatkan dari Zaid bin Aslam, beliau berkata: Kami tidak
mendapatkan seorang pun diantara guru dan ulama kami,
yang memberikan perhatian khsusus kepada malam Nishfu
Sya’ban. Mereka juga tidak menoleh (berhujjah) kepada
hadits Makhul dan tidak pula melihat adanya keutamaan
khusus beribadah pada malam tersebut”.
Seseorang mengatakan kepada Ibnu Abi Maikah bahwa
Ziyad An Numairi berkata: “Sesungguhnya pahala beribadah
pada malam Nishfu Sya’ban sama dengan pahala beribadah pada malam “Lailatul Qadar”. Beliau menjawab “Kalaulah
aku yang mendengarnya, kemudian di tanganku ada tongkat,
niscaya aku akan memukulnya. Ziyad terkenal sebagai
seorang ahli bercerita”.
Imam AsySyaukani dalam bukunya “Al Fawaid
Majmu’ah” berkata “Hadits yang berbunyi:
“Hai Ali, barangsiapa yang melakukan shalat seratus
raka’at pada malam Nishfu Sya’ban, yang mana pada setiap
raka’at dia membaca Al Fatihah dan Surat Al Ikhlas sebanyak
sepuluh kali maka Allah akan memenuhi semua hajatnya”.
Hadits tersebut adalah palsu, dari lafal yang
menerangkan ganjaran pahala bagi pelakunya. Seorang yang
berakal, tidak akan menragukan keapalsuannya, disamping
sanadnya yang majhul (tidak dikenal). Hadits ini juga
diriwayatkan dari dua jalur sanad yang lain, tetapi semuanya
adalah palsu dan para rawinya majhul (tidak dikenal)”.
Dalam bukunya “Al Mukhtashar” Imam Syaukani
berkata “Hadits tentang shalat pada Nishfu Sya’ban adalah
bathil. Adapun riwayat Ibnu Hibban dari Ali “Apabila datang
malam Nishfu Sya’ban, maka lakukanlah qiyamullail dan
berpuasalah pada siangnya, adalah lemah”.
Dalam bukunya “Allaali” Imam Suyuti berkata “Seratus
raka’at pada malam Nishfu Sya’ban (dengan membaca) Al
Ikhlas sepuluh kali”, beserta banyak lagi keutamaan lainnya
yang diriwayatkan oleh Dilami dan lainnya adalah maudhu’
(palsu), mayoritas perawinya pada ketiga jalur sanadnya
adalah majhul dan dhaif”. Dia juga berkata “Dua belas raka’at dan empat belas raka’at dengan (membaca surat) Al
Ikhlas tiga puluh kali (pada setiap raka’at) adalah maudhu’
(palsu)”.
Sebagian ahli fqih, seperti pengarang buku “Ihya
Ulumuddin”, begitu juga sebagian ahli tafsir terkecoh dan
berpegang dengan hadits tersebut.
Hadits tentang melakukan shalat pada malam Nishfu
Sya’ban telah diriwayatkan melalui beberapa jalur sanad yang
berbeda–beda. Namun semuanya adalah bathil dan maudhu’.
Ini tidak bertantangan dengan riwayat Tirmidzi dari
hadits ‘Aisyah yang menjelaskan perginya rasulullah Saw ke
Baqi’ dan turunnya Tuhan pada Nishfu Sya’ban ke langit dunia,
menagmpunkan dosa–dosa manusia sekalipun lebih banyak
dari bulu–bulu domba Nabi Kalb. Karena pembicaraan disini
adalah tentang shalat yang dibuat–buat pada malam tersebut.
Disamping itu, sanad hadits ‘Aisyah itu lemah dan terputus,
begitu juga hadits Ali diatas yang menganjurkan qiyamul
lail pad malam itu. Ini tidak menafkan kedudukan shalat
ini sebagai yang diada–adakan, di samping lemahnya hadits
tersebut, sebagaimana yang telah kita uraikan.
Al Hafzh Al ‘Iraqi berkata “Hadits tentang shalat
malam Nishfu Sya’ban adalah maudhu’ dan bohong terhadap
Rasulullah Saw”. Imam Nawawi dalam bukunya “Al Majmu”
berkata “Shalat yang dikenal dengan shalat Raghaib, yaitu dua
belas raka’at antara Maghrib dan Isya pada malam Jum’at
yang pertama dari bulan Rajab, begitu juga shalat malam
Nishfu Sya’ban seratus raka’at, kedua–duanya disebutkan dalam buku “Quutul Quluub” dan buku “Ihya Ulumuddin”,
dan karena adanya hadits yang menjelaskan keduanya.
Karena semua itu adalah bathil. Dan juga jangan terpedaya
dengan beberapa ulama yang menulis tentang dianjurkannya
kedua macam shalat tersebut, karena mereka dalam hal ini
adalah shalat”.
Syaikh Imam Abu Muhammad Abdur Rahmabbin Ismail
Al Maqdisi telah menulis sebuah buku yang sangat berharga
dan bagus sekali tentang kebathilan kedua macam shalat
tersebut.
Perkataan ulama dalam masalah ini banyak sekali dan
akan sangat panjang lebar kalau kita menukil seluruhnya.
Semoga apa yang telah kita paparkan, bias memuaskan para
pembaca.
Dari ayat–ayat, hadits–hadits dan perkataan ulama
diatas, jelaslah bagi siapa saja menginginkan kebenaran bahwa
memperingati dan menghidupkan malam Nishfu Sya’ban
dengan shalat dan ibadah lainnya serta mengkhususkan
siangnya dengan puasa adalah bid’ah yang munkar menurut
pendapat kebanyakan ulama, dan tidak ada dasarnya sama
sekali dalam syari’at. Bahkan ia merupakan hal yang diada–
adakan dalam Islam setelah masa para sahabat. Dan cukuplah
bagi siapa saja menginginkan yang haq dalam masalah ini,
frman Allah :
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku dan telah Aku
ridhai Islam sebagai agama bagimu” Qs. Al Maidah: 3.Dan ayat–ayat lain yang semakna dengannya, begitu
pula sabda Rasulullah Saw “Barangsiapa yang mengada–
adakan dalam urusan agama kami tanpa ada dasarnya, maka
hal itu akan ditolak (tidak diterima)”. Dan hadits–hadits lain
yang senada dengannya.
Dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radiyallahu
anhum, Rasulullah Saw bersabda: “Janganlah kamu
sekalian mengkhususkan malam Jum’at daripada malam–
malam lainnya dengan shalat dan janganlah kamu sekalian
mengkhususkan siang harinya dengan puasa kecuali kalau
itu adalah puasa yang telah dibiasakan oleh salah seorang
kamu”.
Seandainya boleh kita mengkhususkan suatu malam
untuk ibadah tertentu, tentu malam Jum’at lebih patut untuk
hal itu daripada malam lainnya karena Jum’at adalah hari yang
paling baik daripada hari–hari yang ada. Berdasarkan beberapa
hadits yang shahih dari Rasulullah Saw. Kalau Rasulullah
Saw telah melarang kita untuk mengkhususkan malamnya
dengan ibadah, tentu mengkhususkan malam–malam yang
lain dengan ibadah tertentu akan lebih terlarang lagi. Maka
tidak boleh mengkhususkan malam tertentu dengan ibadah
tertentu kecuali berdasarkan hadits shahih yang menunjukkan
pengkhususan tersebut.
Seperti malam Lailatul Qadar dan malam–malam
Ramadhan, tatkala disyari’atkan untuk menghidupkan
dan memperbanyak ibadah padanya maka Rasulullah Saw
mengingatkan bahkan menghasung umat untuk melakukan qiyamullail di malam–malam tersebut. Dan beliau sendiri
melakukannya, sebagaimana yang tertera dalam Shahih
Bukhari dan Muslim bahwa Nabi Saw bersabda:
“Barangsiapa yang melakukan qiyam pada (malam–
malam) Ramadhan dengan penuh rasa aman dan harapan
(pahala), niscaya Allah akan mengampunkan dosa–dosanya
yang telah lalu. Barangsiapa yang melakukan qiyam pada
malam lailatul qadar dengan penuh rasa iman dan harapan
(pahala), niscaya Allah akan mengampunkan dosa–dosanya
yang telah lalu”.
Seandainya disyari’atkan untuk mengkhususkan ibadah
tertentu pada malam Nishfu Sya’ban atau malam Jum’at yang
pertama dari bulan Rajab atau malam Isra’ dan Mi’raj maka
pasti Rasulullah Saw menghasung umat untuk melakukannya
dan Beliau sendiri akan mengamalkannya. Dan kalau hal itu
ada terjadi, niscaya para sahabat menukilnya kepada umat dan
mereka pasti tidak akan menyembunyikannya karena mereka
adalah sebaik–baik pemberi nasehat setelah para Nabi.
Semoga Allah meridhai para sahabat Rasulullah Saw.
Di atas telah anda ketahui bahwa tidak ada satupun
nukilan yang shahih dari Rasulullah Saw dan para sahabat dari
rasulullah Saw dan para sahabat tentang keutamaan malam
Jum’at pertama dari bulan Rajab, begitu pula malam Nishfu
Sya’ban. Maka memperingati keduanya merupakan perbuatan
bid’ah yang munkar. Begitu pula dengan malam kedua puluh
tujuh Rajab, yang diyakini sebagian orang sebagai malam Isra’
dan Mi’raj. Tidak boleh mengkhususkannya dengan ibadah tertentu, begitu pula merayakannya berdasarkan dalil–dalil
diatas.
Ini kalau benar terjadi pada malam tersebut, padahal
menurut pendapat ulama yang benar bahwa malam Isra’ dan
Mi’raj itu tidak diketahui. Adapun pendapat yang mengatakan
terjadinya pada malam kedua puluh tujuh Rajab adalah bathil.
Tidak ada hadits shahih yang mendasarinya. Benarlah apa
yang dikatakan seorang ulama pujangga.
“Sebaik-baik perkara adalah yang dilakukan berdasarkan
petunjuk, sedangkan sejelek-jelek perkara (dalam agama)
adalah perbuatan bid’ah yang diada–adakan”.


Jawaban Habib Munzir Al Musawa:
Mengenai doa dimalam nisfu sya’ban adalah sunnah
Rasul saw, sebagaimana hadits-hadits berikut:
Sabda Rasulullah saw: “Allah mengawasi dan
memandang hamba hamba Nya di malam nisfu sya’ban, lalu
mengampuni dosa dosa mereka semuanya kecuali musyrik
dan orang yang pemarah pada sesama muslimin” (Shahih
Ibn Hibban hadits no.5755).
Berkata Aisyah ra: “Disuatu malam aku kehilangan Rasul
saw, dan kutemukan beliau saw sedang di pekuburan Baqi’,
beliau mengangkat kepalanya kearah langit, seraya bersabda:
“Sungguh Allah turun ke langit bumi di malam nisfu sya’ban
dan mengampuni dosa dosa hamba-Nya sebanyak lebih dari
jumlah bulu anjing dan domba” (Musnad Imam Ahmad hadits
No.24825).
Berkata Imam Syafi rahimahullah: “Doa mustajab
adalah pada 5 malam, yaitu malam jumat, malam idul Adha,
malam Idul Fitri, malam pertama bulan rajab, dan malam
nisfu sya’ban” (Sunan Al Kubra Imam Baihaqiy juz 3 hal
319).
Dengan fatwa ini maka kita memperbanyak doa di
malam itu, jelas pula bahwa doa tak bisa dilarang kapanpun
dan dimanapun, bila mereka melarang doa maka hendaknya
mereka menunjukkan dalilnya?,
Bila mereka meminta riwayat cara berdoa, maka alangkah
bodohnya mereka tak memahami caranya doa, karena caranya
adalah meminta kepada Allah.
Pelarangan akan hal ini merupakan perbuatan mungkar
dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Sungguh
sebesar-besarnya dosa muslimin dengan muslim lainnya
adalah pertanyaan yang membuat hal yang halal dilakukan
menjadi haram, karena sebab pertanyaannya”(Shahih
Muslim).
1.Waktunya adalah 14 sya’ban malam 15 sya’ban
2.Yang paling pokok adalah berdoa, karena memang ada
pendapat para Mufassirin bahwa malam nisfu sya’ban adalah
malam ditentukannya banyak takdir kita, walaupun pendapat
yang lebih kuat adalah pd malam lailatul qadar.
Namun bukan berarti pendapat yang pertama ini batil,
karena diakui oleh para muhadditsin, bisa saja saya cantumkan
seluruh fatwa mereka akan malam nisfu sya’ban beserta
bahasa arabnya, namun saya kira tak perlulah kita memperpanjang masalah ini pada orang yang dangkal
pemahaman syariahnya,
Para ulama kita menyarankan untuk membaca surat
Yaasiin 3x, itu pula haram seseorang mengingkarinya, kenapa
dilarang? apa dalilnya seseorang membaca surat Alqur’an?
melarangnya adalah haram secara mutlak.
Sebagaimana Imam Masjid Quba yg selalu menyertakan
surat Al Ikhlas bila ia menjadi Imam, selalu ia membaca
surat Al Ikhlas di setiap rakaatnya setelah surat AlFatihah,
ia membaca AlFatihah, lalu Al Ikhlas, baru surat lainnya,
demikian setiap rakaat ia lakukan, dan demikian pada setiap
shalatnya, bukankah ini kebiasaan yg tak diajarkan oleh Rasul
saw?bukankah ini menambah nambahi bacaan dalam shalat?.
Maka makmumnya berdatangan pada Rasul saw seraya
mengadukannya, maka Rasul saw memanggilnya dan bertanya
mengapa ia berbuat demikian, dan orang itu menjawab Inniy
Uhibbuhaa (aku mencintainya), yaitu ia mencintai surat Al
Ikhlas, hingga selalu menggandengkan Al Ikhlas dengan
Alfatihah dalam setiap rakaat dalam shalatnya.
Apa jawaban Rasul saw?, beliau bersabda: “Hubbuka
iyyahaa adkhalakal Jannah (cintamu pada surat Al Ikhlas
itulah yang akan membuatmu masuk sorga)” hadits ini dua
kali diriwayatkan dalam Shahih Bukhari.
Dan shahih Bukhari adalah kitab hadits yang terkuat dari
seluruh kitab hadits lainnya untuk dijadikan dalil.
Akan jelaslah Rasul saw tak melarang berupa ide–ide
baru yang datang dari iman, selama tidak merubah syariah yang telah ada, apalagi hal itu merupakan kebaikan.
Dan doa nisfu sya’ban adalah mulia, apa yg diminta?
panjang umur dalam taat pada Allah, diampuni dosa dosa,
diwafatkan dalam husnul khatimah.
Salahkah doa seperti ini? akankah perkumpulan seperti
ini dibubarkan dan ditentang?.
Tunjukkan pada saya satu hadits shahih atau dhoif yang
melarang doa di malam nisfu sya’ban? tidak ada!!.
Beramal dengan hadits dhoif adalah boleh, bukan
dijadikan dalil hukum syariah, bukan dijadikan dalil hukum
fardhu atau hukum jinayat atau hukum syariah lainnya,
mereka tak bisa membedakan antara amal ibadah mustahab
dengan hukum fardhu dan syara.
Nisfu sya’ban tak ada perayaan, siapa pula yang
merayakannya? cuma wahabi saja yang menuduhnya, kalau
untuk partai mereka sih, ngga pake bid’ah dan musyrik, walau
pakai pesta kampanye dan memajang foto–fotonya di masjid
dan dimana-mana, itu sih tidak mengapa, juga hari ulang tahun
partainya, buat pesta besar-besaran dengan menggelar musik
dangdut, itu sih tidak mengapa tapi nisfu sya’ban bid’ah.
Mengenai fatwa Imam syafi tentunya Imam Syafi lebih
mulia dari seribu Bin Baz, karena Imam syafi sudah menjadi
Imam sebelum Imam Bukhari lahir, dan ia adalah guru dari
Imam Ahmad bin Hanbal, sedangkan Imam Ahmad bin
Hanbal itu hafal 1.000.000 hadits dg sanad dan matannya.
Dan Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “20 tahun aku
berdoa setiap malam untuk Imam syafi, dan Imam Syafi adalah Imam besar yang ratusan para Imam mengikuti
madzhabnya”.
Mengenai Imam Ghazali beliau adalah Hujjatul Islam,
telah hafal lebih dari 300.000 hadits dengan sanad dan hukum
matannya.
Beda dengan para wahabi yang diakui sebagai imam
padahal mereka tak satupun sampai ke derajat Al Hafdh
(hafal 100.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya),
tapi fatwanya menghukumi hadits-hadits seakan mereka itu
para Nabi, dan ulama lain adalah bodoh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar